Mengenai humanis. Saya jadi teringat dengan
seorang senior di kampus. Ia sosok yang saya kagumi, dulu. Kini, masih sama
meski ada tagar-tagar mengenai dirinya yang tak seharusnya tercerabut dari
ruang di kepala.
Saya suka sikapnya, caranya mengajak kami yang
ketika itu masih unyu-unyu untuk mulai membuka suara ketika berpendapat, saya
suka caranya mengikutsertakan kami pada setiap kegiatan apa pun dengan cara
yang membuat kami tak lagi canggung. Saya suka dakwah menulisnya pada kami yang
terasa simpel. Wanita berjilbab itu, saya menyukainya pada banyak hal.
Suatu hari, saya terkaget-kaget melihatnya tak
mengenakan jilbab. Mata saya yang seharusnya terbelalak tak menunjukkan
ekspresi kekagetan, ekspresi yang seharusnya muncul saat itu. Saya diam.
Pikiran saya kelana mencari-cari ruang dengan namanya di pikiran. Keheningan di
tempat itu sempurna menyeruakkan kecanggungan tak biasa. Mungkin ia tahu pada
diamnya saya berarti ribuan pertanyaan tersumpal di benak.
Kebekuan di hari itu berlalu. Berhari-hari saya
menyimpan suara untuk tak mau berkomentar apa-apa dan bercerita pada
siapa-siapa. Saya ingin menutup rapat-rapat hal itu. Berharap ada yang keliru
pada hari kemarin ketika saya berjumpa dengannya. Pikiran saya terus saja
berputar-putar tak tentu sampai pada suatu ketika saya merasa tak bisa lagi
menahan pikiran itu menggelayuti otak saya. Akhirnya saya bertanya pada salah
satu teman yang memang lebih intens berjumpa dengannya karena berada dalam satu
komunitas. Percakapan kami berakhir tanpa benar-benar berakhir.
Suatu ketika saya dan teman-teman berkumpul di
ruang itu, kembali. Satu persatu teman yang hadir menampakkan kebekuan yang
mungkin hampir sama dengan yang saya lakukan beberapa waktu lalu.Tepat hari
itu, ketika kami semua berkumpul di ruangan itu, salah satu dari kami
sekonyong-konyong menyatakan kegundahannya pada suasana beku yang telah
beberapa hari ini bertengger karena perubahan darinya. Ia mengatakan hal itu
untuk menyelesaikan berkeliarnya tanya-tanya yang ada pada kami. Apa itu
terlihat jelas di wajah kami? Entahlah…
Akhirnya ia bersuara. Jawabannya cukup
mengejutkan ternyata. Versi ingatan saya, ia mengatakan tengah belajar. Belajar
tentang humanis. Pikiran saya mencoba menjejaki kosakata humanis meski saya tak
begitu paham sesungguhnya humanis itu seperti apa. Tak banyak yang muncul dari
hasil pencarian cepat saya. Beberapa diantaranya berwujud wajah-wajah bahagia,
uluman senyum, tangan yang memberi, hati yang dipenuhi kebaikan dan beberapa
sosok manusia-manusia luar biasa. Sepertinya masih ada yang tersisa tapi yah,
sepantaran itulah yang saya ingat.
Saya mafhum ia memang penulis sejati. Puisinya
telah banyak beredar di harian-harian nasional pun buku puisinya telah banyak
yang terbit. Komunitas menulis yang ia geluti pun memang sedikit banyak saya
ketahui memberikan ruang sebebas-bebasnya untuk menuangkan pikiran. Saya kira
sastra pada ranah kebanyakan memang sering seperti itu. Akan tetapi tetap saja,
nak sebebas-bebasnya burung terbang, hingga kini ia masih terbang di lingkaran
pagar bernama bumi.
Ia juga mengatakan kalau ia ingin melihat sosok
humanis dari orang-orang yang dikenalnya. Apakah dengan penampilannya yang
sangat berbeda akan membuat orang-orang di sekelilingnya menatapnya dengan
berbeda. Apalagi dengan keadaan seperti sekarang ini ketika ia menggugurkan
satu kewajiban yang fundamental dari agama.
Dikatakannya juga bahwa ia risih dengan perilaku
para akhwat sekarang yang kebanyakan hanya menjadikan jilbab bukan sebagai
syariat tapi fashion yang tak cermat. Itulah yang dikatakannya waktu itu.
Belum Rela
Kutanyakan padanya bahwa apa ia sadar dan tahu
dengan keputusan yang diambilnya? Jawabannya sangat jelas. Ia tahu. Bahkan
surat dalam Al-Qur'an yang menerangkan mengenai kewajiban menutup aurat (An-Nur
ayat 31 yang sering saya lupa ayat berapa) itu pun telah ia hapal benar bahkan
sepertinya ia lebih paham dari kami-kami yang berada di sana ketika itu. Lalu?
Saya terdiam. Pada tahap ini saya merasa sangat bodoh. Mempertahankan seorang
teman seiman untuk memenuhi kewajibannya itu sungguh tak mudah jika bukan dari
dirinya. Ia pun seingat saya menutup penjelasannya bahwa keadaannya seperti ini
tak menutup kemungkinan dirinya akan beralih kembali untuk memenuhi kewajiban
itu, jika ia.
Lalu sekarang?
Seperti kataku tadi, hanya mereka yang
benar-benar sadar yang akan menyadari betapa kewajiban adalah sebuah keharusan
untuk kemudian menindaklanjuti pemberian hak dari sang pencipta. Tapi, aku tak
tahu akan berkata apa, teman.
Setelah hari itu, aku dan teman-teman ternyata
masih menjadikannya tagar teratas perbincangan di antara kami.
Berhari-hari setelah itu, tetap saja saya belum
rela dengan keputusan senior tercinta saya itu untuk menanggalkan jilbabnya
hanya gara-gara ideologi barat perayu dunia bernama humanis.
Mengenai alasannya karena lelah melihat fenomena
fashion hijab yang menggarang, ingin saya katakan, Hai, Mbak… biarkan saja.
Mungkin itu salah satu cara mereka untuk memulai mendekatkan diri kepada
pencipta. Suatu hari mereka akan sadar, tapi jalan mana yang akan dipilih,
tergantung pengemudi bukan pemilik mobil.
Pikiran saya kemudian bercakap panjang,
Lalu mengapa kita tak mencoba untuk menjadi
salah satu pemeran utama protagonis dalam lingkaran terdekat kita?. Biarkan
mereka melihat sendiri jilbab seperti apa yang sesungguhnya benar-benar
disyariatkan bukan malah kita yang keluar dari lingkaran jilbab itu sendiri.
Terang saja dengan keputusan itu tak mengubah apa pun untuk perempuan penggelut
hijab fashion. Belajar humanis? Hai, Mbakku yang kucintai… humanis macam apa
yang ingin kau lihat dari manusia. Sosok kemanusiaan seperti apa yang kau harap
datang dari onggokan daging berlapis-lapis bernama manusia. Lalu setelah kau
temukan jawabannya, apa keadaanmu kini mampu mengubah sikap humanis mereka
menjadi lebih baik? Saya sangat yakin jawabannya tidak.
Pada akhirnya saya hanya menyadari status saya
sebagai penumpang. Penumpang tetaplah penumpang, ia tak dapat berbuat banyak
dalam perkara jalan yang akan dilalui kendaraan yang ditumpanginya. Pengemudi
menjadi satu-satunya pemegang kendali. Akan lain ceritanya jika pemilik mobil
yang datang dan berbincang dengannya.
Salam ilalang
4 Maret 2017
Mengendap di laptop cukup lama. Sengaja
diunggah, siapa tahu bermanfaat. Siapa yang tahu?
Maaf jika kurang berkenan.
ABOUT THE AUTHOR
Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...