Seindah Apa Ibukota?

Kesibukan Ibukota

Jawabannya tergantung dari sudut pandang mana kita berbicara. Jika indah bagi sebagian orang adalah mengenai apik dari segi bangunan, maka saya yakini Ibukota sudah apik meski saya belum bisa disebut mengetahui segala lini jalanan ibukota. Yah, empat hari memang belum bisa dikatakan cukup untuk mengetahui keindahan Jakarta. Maklum, saya hanya menempati tiga lokasi di sana, hotel,  mall dan wajah jalanan dari bis. Tapi saya sudah memiliki gambaran mengenai Ibukota. Tak masalah, kan?
Jika mereka yang mengharapkan keindahan dalam arti ketenangan, tanpa kebisingan, tentu bukan Ibukota jawabannya. Bagi yang tak pernah ke Ibukota sekalipun tentu tahu jawabannya. Media memahat sendiri wajah Ibukota negeri ini dengan persis.
Dan benar saja, apa yang saya lihat di televisi ternyata tak ada bedanya dengan apa yang saya temui di Jakarta. Kemacetan, kebisingan, asap kendaraan, bangunan tinggi, kesibukan hingga larut malam sudah menjadi sebuah keharusan bagi kawasan cukup kecil bernama Jakarta.
Jadi, seindah apa ibukota?
Jakarta indah sebagai ibukota. Bukan lewat keheningan malamnya, namun lewat kebisingan jalanannya. Bukan lewat segar udaranya, namun lewat kepulan asap knalpot kendaraannya. Berbagai permasalahan ibukota agaknya menjadi sebuah lahan masalah yang tak kunjung selesai digarap.
Jakarta menawarkan cara hidup yang berbeda dengan Mataram (Ini menurut pengamatan selama 4 hari disana). Bangunan-bangunan tingginya, asap kendaraan di jalan, aura hedon yang sangat lekat (saya memperhatikannya lewat cara hidup teman sekamar saya yang anak Jakarta) dan tentu saja hal itu akan berakhir dengan kesimpulan bahwa saya mungkin tak bisa hidup di Ibukota negara ini.
Namun ketika saya berjalan-jalan di sekitar hotel (daerah Cikini), Saya melihat wajah lain Ibukota yang hampir saya lupakan. Pada perlintasan kereta api, banyak lelaki, wanita, anak kecil yang tidur di di bawah kolong perlintasan kereta api itu. beratapkan beton dingin dan beralas kardus, saya melintasi jalan sempit itu dengan perasaan cukup was-was. Inikah wajah lain Jakarta? Ya, untungnya wajahnya yang kali ini saya lihat pernah saya jumpai di televisi.
Ah… Jakarta! Adakah keindahan ketika menyebut namamu di hadapan mereka yang tertidur pulas dengan selimut kardus itu? Saya tak tahu jawabannya. Mungkin kata Jakarta tak seindah mereka yang terlelap dalam selimut tebal mahal hasil sumbangan rakyat, bukan?
Hingga ketika kembali dari Ibukota, saya pun kembali berkutat dengan kesibukan kecil sebagai mahasiswa di kota yang indah ini. Cukuplah saya menjadi warga Mataram yang hidup selayaknya sekarang. Namun, Saya agak ragu jika Mataram akan tetap sama seperti saat ini. Ketakutan saya adalah kota ini akan menyerupai wajah Ibukota jika aktivitas hedon di layar kaca tetap masih dipertontonkan dan seakan menjadi wajah percontohan hidup masyarakat kekinian bagi seluruh rakyat Indonesia.

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...