(Jangan) Maafkan Saya, Dek!

Saya lupa pada siapa saya berhadapan. Saya lupa betapa semangatnya anak itu. Saya lupa berapa kali saya memintanya mengulangi surah yang belum juga dihapalnya. Saya lupa usahanya yang berulangkali mengulang-ulang hafalannya namun belum mampu menghafalnya dengan urutan yang benar.
Di akhir maghrib itu, Ia akhirnya menyerah setelah mengulangnya beberapa kali. Ia meneyerah dan meminta saya menulis keterangan “ulang” saja pada kertas hafalan miliknya. Dan ketika itu, ketika itu saya langsung tersadar bahwa saya sudah kelewat batas. Wajahnya langsung berubah lesu. Semangatnya turun.
Ya, Allah… Saya baru tersadar akan hal itu. Betapa kejamnya saya hingga memintanya berulangkali menghafal namun Ia masih belum mampu menghafalnya. Betapa bodohnya saya tak melihat perjuangan kerasnya mencoba untuk bisa menghafal. Saya terlalu terobsesi. Maafkan saya ya Allah.
Maafkan saya karena tak peka melihat semangat adik saya yang satu ini. Maafkan saya, dek. Maafkan kakakmu yang bodoh dan tak peka ini. Karena saya semangatmu menjadi turun. Kau bukan tak mampu, tapi saya yang terlalu perfeksionis. Kau sungguh mampu! Hanya mungkin butuh waktu. Maafkan saya, dek. Apa yang Saya lakukan untukmu sebenarnya sungguh untuk kebaikanmu, namun ambisi saya untuk membuatmu bisa menghafalnya “sedikit lagi saja” membuat saya lupa perihal kata “lanjut” pada kertas hafalan itu. Dan tentu itu yang kau tunggu, bukan? Sungguh, maafkan saya. Tak apa kau belum mampu sekarang. Besok kita menghafal lagi, ya! Saya berusaha untuk tak seperti itu lagi kedepannya! Insya Allah.

Untung saja ia lelaki + periang!

Agaknya akan cukup mengerikan jikalau adik yang satu itu bukanlah seorang lelaki + periang. Saya cukup lega atas itu. Ternyata di masa anak-anak seperti itu dengan cepatnya mereka melupakan kekecewaan yang beberapa menit berlalu. Saya sudah harap-harap cemas saja berfikir kalau-kalau semangatnya menghafal sudah mulai luntur.
Ketika ia akan pulang, saya menantinya menggenggam telapak tangan saya untuk disalami. Dan ternyata ia masih penuh senyuman seperti biasanya. Saya lalu memeluknya mengatakan kalau ia sudah lanjut ke hafalan surah selanjutnya. Dan ternyata kekhawatiran panjang saya sebelumnya dijawab dengan enteng saja oleh si adik. “Memang saya mesti lanjut, kak!” sambil cengengesan dengan gigi yang tak beratturan. Lah ini anak. Untuk gue gak lebih kejam dari itu. hahaha… Ya, sudahlah! Anak-anak memang tak terduga!


#BelajarMenghargaiUsaha
#BelajarJadiGuru
#EveryChildIsSpecial

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...