Sunnatullah Air & Minyak



Saya belum cerita kalau kami satu kelas, ennnggggg tepatnya satu angkatan pada semester ini merasa seakan menjadi mahasiswa tua (apa saya aja yang merasa ya?). Tersebab mata kuliah yang muncul pada semester VI ini yang mengharuskan kami mulai menjejaki derap langkah kaki mahasiswa pra-skripsi. Cie cie...
FYI, semester ini kami, angkatan 2014 mendapat mata kuliah yang luar biasaa ketjeh.. Halaaah… Iya, contohnya aja kayak mata kuliah Seminar Bahasa, Sastra, Kependidikan. Di mata kuliah inilah kami serasa menjadi mahasiswa yang sejati, heleeh bahasa ente, Jik. Uhuk, uhuk…
Bagaimana tidak sodara? Di matkul ini kami diminta untuk menyetor judul untuk digarap dan selanjutnya dipresentasikan seperti kaka(k)-kaka(k) tingka(t) yang sudah mendahului kami (emang semua kakak tingka(t) ente udah tiada gitu, Jik? Eng, maksudnya sudah mendahului kami untuk seminar proposal gitu).
Pada matkul ini tersebutlah dua dosen yang memang sengaja disatukan (menjadi tim) untuk mengajar kami. Dosen yang mengajar adalah dua dosen yang bisa kita umpamakan seperti air dan minyak. Kalau bahasa agamanya sunnatullah, air dan minyak emang dari sononya kagak bisa menyatu. Pak Asyhar dan Bu Syam itu yah kagak jauh bedalah seperti itu (Mohon maaf lahir batin ya, Pak, Bu!). Hal itu memang sering diceritakan oleh keduanya di sela-sela kisah kuliah ketika mereka mengajar. Ketika cerita itu mengalir pada kuliah Bu Syam beberapa waktu lalu, ia bercerita bahwa ada mahasiswa bimbingannya yang datang berkonsultasi mengenai skripsi kepadanya dan juga Pak Asyhar. Seringkali mereka memiliki perbedaan pendapat.
Contohnya saja pada kuliah perdana Rabu lalu. Keduanya hadir namun Bu Syam lebih dulu hadir dan Pak Asyhar datang terlambat. Ketika Pak Asyhar belum datang memang belum terlihat rusuhnya mereka berdua tapi ketika sudah berjumpa, hedeeh.. Ternyata begini toh rupanya. Kita yang ngeliatin jadi agak gimana gitu liat dua dosen heboh adu pendapat pada hal-hal kecil sampai hal-hal besar.
Jika mau didramatisir, terlambatnya Pak Asyhar membuka babak pertama kehebohan dua dosen kece ini. Pak Asyhar dengan gaya kasualnya datang terlambat dan masuk dengan santai. Aseek… Pas duduk ngobrol-ngobrol bentar dan Bu Syam yang memang sudah berbicara sejak awal meminta Pak Asyhar untuk bergilir mengambil alih berbicara. Ia tak membawa absen, itu juga jadi masalah. Babak pertama dimenangkan Bu Syam karena keterlambatan dan tidak ada absen yang dibawa Pak Asyhar, 2-0 untuk Bu Syam.
Selanjutnya pada babak kedua, Pak Asyhar tak mau kalah, beliau mengatakan kalau Bu Syam biasanya hadir terlambat sekarang saja kagak telat (kami yang dengar pernyataan Pak Asyhar yang tak begitu jelas itu ngangguk-ngagguk aja tanda setuju. Hehehe… Emang Bu Syam tumben datang kagak telat). Hahaha… 2-1. langkah selanjutnya, untuk mengejar satu poin lagi agar menyamakan kedudukan, Pak Ashyar mengkritik kalimat Bu Syam yang menyebut 'daftar hadir' sebagai 'absen'. Baiklah… usaha yang bagus, Pak. Skor imbang 2-2 dan ditutup dengan sisa-sisa kehebohan kedua dosen itu yang meminta kami mengumpulkan judul pada Rabu depan. MaaSyaaAllah… luar biasa dua dosen ini. Pas ngumpul heboh, pas sendiri-sendiri saling omongin. Saling kangen ya, Pak? Bu? Hahaha….
Terlepas dari kemiripan mereka dalam perdebatan yang serupa air dan minyak, di balik kehebohan pendirian keduanya yang sama-sama kuat mereka tetap punya kesamaan. Yaiyalah… sama-sama ngajar linguistik, sama-sama jadi dosen. Meskipun begitu, (yang ini serius) mereka adalah dosen-dosen linguistik yang kece. 
Ya Allah, mudahkan kami dalam mendapatkan ilmu duniamu ini.
Mohon bimbingannya ya, Pak, Bu! Masalahnya, saya beloom nemu judul… hehe...
Kalau kata Iwan Fals,

Rasa sesal di dasar hati
Diam tak mau pergi
Haruskah aku lari dari
Kenyataan ini
-Belum Ada Judul-

Hahaha…. Kagak usah lari, Jik.
Kalau skripsi datang, jangan ragu untuk ajak dia jalan-jalan, melihat sekitar. Siapa tahu dia jatuh hati sama kamu? Hah? Iya… kamu…. Halahhh… *

*Efek belum ada judul.

[Sabtu, 11 Maret 2017 | 08.14 pm]

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...