Sebuah Pertemuan

Sabtu Malam (12/12/15) 
di sebuah toko buku




Setiba di rumah, senyum yang merekah sejak tadi masih saja tersisa di sudut bibir. Aku lupa menghirup aroma apa saja yang hadir disana. Malam ini tak terduga. Sungguh!
Aku keluar bersama kakakku selepas Isya. Berniat membeli buku kuliah yang sebenarnya ingin kufotocopy. Namun kakakku menyuruhku untuk membelinya saja, "Selagi ada rezeki," Ujarnya ketika itu. sebenarnya wajah merah Soekarnolah (baca: Rp. 100.000) yang membuatku memastikan untuk membeli buku itu daripada melakukan kegiatan illegal yang dianggap legal itu (fotocopy).
Awalnya ibu agak takut untuk membiarkan kami keluar malam karena suasana malam minggu yang biasanya selalu ramai, pun juga karena ada perbaikan jalan yang dilakukan di jalan yang akan kami lewati. Namun akhirnya kami pergi juga.
Motor matic kuning itu membawa kami ke sebuah toko buku di daerah Gomong, TB. Airl**gga. Segera kami naik ke lantai atas toko yang memang diperuntukkan untuk buku-buku Bahasa. Kakakku pun tampak sedang melihat buku-buku yang berjajar di rak Teknik.
Setelah buku itu ketemukan, Aku masih enggan beranjak dari rak buku Bahasa itu. Sesosok lelaki muncul dari arah tangga, arah kananku. Lelaki itu semakin dekat dan ternyata berhenti di rak di belakangku. Aku masih menatap buku itu sambil berfikir, sepertinya lelaki ini kukenal, tapi wajhanya belum sempat kulihat, masih ngeblur. Ketika menoleh, wajah itu, baju itu, gaya itu, ia disini! Lelaki itu… 
Ah, Malam ini sungguh tak terduga... 
Lelaki itu yang pernah kuceritakan padamu, Lang!
Uh… Aku kembali menatap buku yang kupegang. Tanganku membolak-balikkan lembaran-lembarannya tak karuan. Ia berdiri di sebuah rak buku di belakangku, tapi tak tepat dibelakangku, agak kanan sedikit. Tak dekat dan tak jauh juga. Ia mengenakan kaus oblong coklat dengan model rambut yang tak kutahu namanya. Sepertinya model seperti itu tak ada namanya, entahlah dan tentu saja wajah yang, ya wajah syahdu itu kujumpai disana.
Ah, tak sanggup rasanya berdiri dengan membolak-balikkan lembaran Morfologi yang kupegang. "Hai, lelaki berbaju coklat, ingin rasanya kusapa dirimu.” Pada kaca jendela di sebelah kiri memantul bayangannya yang sedang melihat buku. Aku tahu rak yang sedang dipandangnya itu adalah rak buku-buku umum yang membuat otak harus berfikir. Yah, aku mafhum karen ia pun sepertinya seorang yang pemikir.
Kakakku entah berbicara apa, hanya bibirnya saja yang terlihat jelas bergerak. Aku tak bisa menahan senyum yang sedari tadi muncul di sudut bibir. Kakakku pun ikut tersenyum melihatku, bukan, tertawa tepatnya. Entah ia mengerti atau tidak gelagat yang kubuat.
"Udah, Ya? Ndak ada yang dibeli lagi?" Tanyaku masih dengan senyum yang entah kapan usai. Ia menunjukkan sebuah buku namun karena harga yang cukup fantastis ia urung membelinya.
"Itu pun jilid 1, Jik!" tambahnya. Kami akhirnya memutuskan untuk turun dan melihat buku-buku di lantai satu.
"Cari buku, Kak?" Aku berbicara pada lelaki yang kulihat bayangnya di kaca jendela. (Pertanyaan macam apa ini? Yaiyalah nyari buku, lo pikir ini toko apaan???)
"Iya nih. Lagi cari buku apa?" Suaranya, senyum sekadar itu, uh.
"Ah, ini!"Aku menunjukkan buku Stilistika itu. Mungkin tingkahku terlihat agak kagok. Sepertinya begitu, aku tak bertanya pada kakakku. Haha…
"Lagi nyari buku apa, kak?" tanyaku lagi. 
"Ya, malam mingguan di toko buku, daripada ngumpul-ngumpul gak jelas kan?" ujarnya. Ya Allah, kalimatnya pun sudah menggambarkan sosoknya. Rabbi...
"Yaya..." Ujarku sambil manggut-manggut. Aku menatap buku-buku yang ada pada rak yang digandrunginya. Tak tahu lagi kalimat apa yang harus kuutarakan. Aku pamit dan kembali menyapanya, hanya sekadar. Ia meninggalkan senyumnya, disini.
Kami pun turun dan kembali menengok-nengok rak-rak buku di lantai satu. Tanganku berjalan-jalan mencomot buku-buku yang ada, tapi pikiranku, lebih dari separuhnya dibawa oleh pertemuan beberapa detik itu. Ah, aku lupa. Lupa menyimpan aroma di sekitarnya, lupa pada buku apa ia menghentikan langkahnya, lupa pada detik keberapa pertemuan itu terjadi, lupa apa saja yang ia katakan. Lupa bahwa itu pertemuan tak terduga.
Toko hampir tutup, aku dan kakakku segera ke kasir dan membayar. Setelah itu, putu ayu yang dijual di pinggir jalan menjadi penutup perjalanan kami setelah sebelumnya mampir pada gerai Alf**art di Ampenan.
Aku menutup gerbang rumah, senyum itu masih terbayang, hingga saat menulis tulisan absurd ini pun, senyum itu masih terbayang.

"Hai Stilistika, Sepertinya kau akan sering kutemani dalam waktu-waktu dekat ini. Hahaha… Karena alasan kau kujumpa ia." #Stilistika_Nyoman Kutha ^_^

Sumber gambar

Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...