Ada saat
ketika kita merasa rindu, entah pada hal apa. Seperti pada suatu Ahad sore di
dusun Rejeng Nyungkar, desa Mengkuru, Kecamatan Sakra Barat, tempat saya dan
teman-teman singgah untuk hidup selama 45 hari. Sepoi angin meniup
batang-batang bambu di samping rumah kami. Rumah yang kami tinggali selama masa
kuliah empat SKS ini-KKN. Sinar Surya sore itu masuk di antara celah dedaunan
bambu yang rontok. Di bawahnya akan selalu tersisa sampah dedaunannya yang
ramai berserak.
Suasana
itu, entah mengapa membuat saya merasa begitu rindu. Terasa ada ketenangan di
sana. Menikmati tiap-tiap jengkal mahakarya Tuhan. Sungguh, ini yang
disebut quality time. Detik-detik yang kita lewati seperti
itu, hanya ada sedikit di antara sore-sore yang ada. Saya sering curiga,
keadaan yang kita temui semacam itu, sebenarnya merupaan bentuk rindu kepada
Sang Pencipta yang tidak kita sadari. Akan tetapi, memang dasar manusia, tak
pernah mengenal dirinya, apalagi Tuhannya. Ia anggap saja itu sebagai bentuk
nikmat ketenangan semata, wujud pelarian kebosanan semata, padahal rindu itu
butuh digenapkan dengan cara pemenuhan "rindu" itu sendiri. Semacam
ketika kita sedang kangen masakan ibu lalu memutuskan pulang ke rumah sebagai
penawarnya. Sejatinya pemenuhan rindu kepada Sang Pencipta pun adalah sebuah naluri alam bawah sadar yang mesti kita utamakan.
Saya
sempat merasakan salah satu anugerah terindah itu pada minggu pertama KKN
(kalau tak salah). Hari itu siang menjelang sore, dan cuaca terasa cukup panas.
Desau angin dari batang-batang bambu yang saling bergerak menjadi salah satu
musabab anugerah itu menjadi lengkap. Tak ketinggalan, sore itu, suasana posko
KKN cukup sepi karena teman-teman banyak yang tertidur pulas. Hari itu adalah
hari yang cukup terik untuk melakukan aktivitas meski angin memasok kesegaran
yang cukup untuk tak membuatmu mandi keringat.
Ketika
itu saya tengah bercengkerama bersama seorang teman di teras. Duduk mengobrol
kesana kemari, menggibahi angin yang terus melakukan pekerjaannya tanpa rasa
bosan. Menikmati kipas angin alami yang mengalahkan ac. Kemudian menyebut waktu
tersebut sebagai "quality time". Ternyata, ia juga merasakan nikmat
Allah itu. Alhamdulillah. Saya kira hanya saya yang menamai suasana seperti itu
sebagai sebuah waktu yang, mmmm... Saya tak bisa menjelaskannya. Have
you ever felt it??
Saya
sepertinya harus memperjelas kembali remah-remah pikiran yang seringkali absurd ini.
Ada satu waktu, biasanya di waktu pagi atau sore hari. Ketika kau melihat ke luar
rumah, dedaunan, angin, air, langit terasa entah berbuat apa hingga membuatmu seperti dengan kerelaan hati untuk tersenyum dan melakukan kesyukuran yang
tiada tara. Mengapa? Karena suasana tenang, syahdu yang tak pernah kau rasakan di waktu
lain. Saya agak bingung sebenranya karena waktu
ssemacam itu muncul begitu saja, namun biasanya alam dan kondisi dan suasana tempatmu berada adalah hal wajib yang membuatnya mendukung perasaan yang memunculkan kesyukuran itu. Kondisinya sungguh tenang dan syahdu.
Kita kadang menemukannya ketika waktu-waktu menuju ashar hingga ashar lewat
beberapa menitlah... Jika itu pagi, biasanya kita merasakannya pada pukul 9-10, ketika dedaunan pohon berwarna hijau kekuningan ditimpa mandi matahari yang belum terik.
Apa kalian memahami apa yang saya bicarakan?? Semoga iya. Karena bagi saya, menikmati waktu-waktu seperti itu adalah nikmat tiada tara yang diberikan Allah untuk kita, hamba-Nya.
Sungguh,
melakukan bentuk kesyukuran di saat seperti itu betul-betul nikmat. Mengapa?
Karena semesta tengah melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan. Semesta, termasukk kita, bersinergi mengkonstruksi suasana, keadaan, dan tempat terbaik
untuk membuat kesyukuran itu terasa begitu nikmat. Bentuknya, ya saya kira semacam tafakkur
alamlah... Hehe..
Agaknya
setiap hari, kita perlu membangun quality time semacam itu agar kita memahami bahwa bersyukur kepada Allah itu begitu banyak bentuknya. Untuk hal yang
seringkali kita anggap sederhana sekalipun, seperti menghirup oksigen tanpa tersendat
maupun merasakan hembus angin yang menenangkan adalah bentuk kesyukuran. Tetaplah bersyukur untuk hal-hal yang terlihat kecil dan remeh. Kita tidak tahu, kebaikan yang mana yang akan membawa kita menuju surga-Nya (Aamiin). Bukankah Dia yang berhak
mencabut dan meletakkan ketenangan ke dalam setiap hati kita?
Kita
seringkali kufur pada nikmat-nikmat yang kita anggap kecil namun sesungguhnya
akan kita syukuri ketika tiada. Akan kemana kita mencari oksigen ketika
penyakit melanda dan kita menjadi manusia tak normal yang membeli nafas
bertabung-tabung?
Sebersyukur
apa sih kita, yang ketika diberi nikmat hidup di dunia sedikit
saja, sudah melambung jauh hingga mencapai langit. Apalagi sebentuk napas yang
setiap hari tak kita lewatkan?
Aida,
manusia... Fabiayyiaalaai robbikuma tukadzibaan?
Tertulis pada minggu pertama di posko. #KKNTematik2018, #KKNUnram, #KKNMengkuru
ABOUT THE AUTHOR
Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.
Set daaaahhh...
BalasHapusLu pade gibahin angin?????
Untung aje tu angin kagak nyebeng di gibahin lu pade. Kalo sampe nyebeng, siap siap setiap angin lewat dia bakal bawa parfum alami manusia entah milik siapa kedepan muke lu.. Mau lu?!!