Bagi manusia yang tidak begitu tertarik dengan
pementasan drama (kecuali drama di film-film), ada satu mata kuliah yang sempat
saya hakimi tak menarik. Waktu itu, kami satu angkatan khususnya Kelas B
Pagi, masih bingung akan mengambil mata kuliah apa. Jadwal kuliah belum muncul
dan mata kuliah yang tersedia melebihi kuota maksimal SKS. Kompleks!
Biasanya pada semester-semester sebelumnya, mata
kuliah yang muncul di laman KRS-an sudah dipaketkan. Engggg, istilahnya tidak
ada pilihan lain selain mengambil itu semua. Jadilah kami sering kali menyebut
diri kami sebagai anak paketan. Memang benar, sih -_-
Masa KRS yang selalu membingungkan
Perdebatan muncul ketika beberapa teman ada yang
sudah mengajukan KRS ke dosen PA. Masih mending pilihan mata kuliahnya sama,
ini beda. Itulah salah satu masalah yang muncul di awal semester 6 ini. Saya
sempat mengajukan KRS dan ketika itu, saya jelas-jelas tidak mencentang MK
Sastra Pertunjukan. Kenapa? Karena kami berpikir ketika itu, pasti isi kuliah
ini (read: Sastra Pertunjukan) ada sangkut pautnya dengan drama. Oleh karena
itu, saya dan beberapa teman sekelas ketika itu merasa berat jika harus
melakukan pentas drama untuk keTIGA kalinya. Luar biasa kan?
Intinya urusan KRS ini bermuara pada sistem
paket lagi. Jadilah akhirnya kami melakukan modifikasi KRS dan mencentang mata kuliah
yang memang telah dipaketkan. Beberapa ada yang disetujui PA di laman daring
semacam saya (terima kasih, Pak! Bapak memang luar biasa! Maaf tidak pernah
silaturrahim ke Bapak. ^_^), tapi banyak juga yang mengisi KRS manual. Akhirnya
selempang "anak paketan" terasa benar-benar kami kenakan. Hahaha…
Bagaimana dengan MK Sastra Pertunjukan itu? Oh
itu… Akhirnya ia pun ikut hadir dalam KRS modifikasi dan muncul
di jadwal kuliah setiap Sabtu siang. Jlegg. Kagak kebayang mau drama
lagi.
Sastra Pertunjukan
Akhirnya pertemuan awal kuliah sastra
pertunjukan tiba. Saya sudah lebih dulu dagdigdug meskipun dosen yang
mengampu kuliah ini adalah dosen terkece sastra, Pak Murahim dan bukan termasuk
ke dalam daftar dosen Killer. Tetap saja, saya masih kepikiran dengan konten
kuliah ini yang sepertinya akan banyak memperbincangkan aktivitas harian anak
Teater Putih, DRAMA.
Jangan-jangan disuruh akting lagi kayak drama,
jangan-jangan ini, jangan-jangan itu. Lebay banget, saudara ini! hahaha….
Prasangka awal saya mengenai kuliah ini pun
perlahan surut. Apalagi dengan kuliah perdana yang menyenangkan hati bahwa
sastra pertunjukan berbeda dengan pertunjukan sastra. Intinya, kuliah ini bukan
kuliah DRAMA. Jika di drama, kami akan lebih banyak membicarakan mengenai
pertunjukan maka di kuliah ini kami akan lebih banyak berbicang mengenai
sastranya. Bagi saya, informasi itu penting tersebab saya tidak akan menyeret
otak saya untuk berusaha mengulang kembali masa-masa sulit kuliah Drama jilid I
dan II.
Beberapa pertemuan selanjutnya malah mengarahkan
kami untuk melakukan pertunjukan pembacaan puisi. Uwiiiiih. Jadi keinget jaman
musikalisasi di kelas Bahasa dulu. Hahaha…
"Mengintip
pagi sisa mimpi….."
Prasangka buruk saya mengenai kuliah ini pun
berganti jadi cinta. Uwihhh… iya, karena UTSnya pembacaan puisi. Buat saya itu
menyenangkan.
Kloter I Pembacaan Puisi
Sabtu, 22 Maret dan hari itu Didik ikut kelas
kami sedangkan dia anak dari kumpulannya yang terbuang.. Eh, itu puisinya
Chairil… Maksudnya, dia anak prodi sebelah (read: bahasa inggris). Saya ajakin
dia ikut kelas ini karena saya kira dia masih suka dengan puisi dan tetek
bengeknya. Dia kan sastrawan di kelas
ketika masih duduk di bangku MAN 2 (Uwiwuiui..). Yah, begitulah.
Waktu di kelas, leeeeh… dia gencar banget nyuruh
saya maju baca puisi. Setiap satu teman selesai baca, dia ribut-ribut sendiri
nyuruh saya maju. Katanya biar cepat selesai, biar gak kebeban lagi. Sebenarnya benar
juga sih, lah tapi saya belum sreg sama puisi yang mau saya
baca. Waktu itu saya rencananya akan membaca puisi Ada Pohon Bernapas milik
SDD. Hingga kuliah usai,
saya belum juga maju beserta puluhan kawan-kawan di kelas yang bernasib sama.
Minggu berikutnya, saya sangat menanti kuliah
ini. Jelas! Karena mau tampil, buk! Biar cepat selesai! Akan tetapi waktu
seringkali memberikan pelajaran bersabarnya di saat yang kurang tepat, menurut
kita. Jadilah kami bubar pada hari itu karena tidak ada dosen. Padahal semangat
teman-teman yang telah susah-susah berlatih dari beberapa hari sebelumnya sama
seperti saya, begitu menantikan waktu untuk menampilkan pertunjukan puisi
masing-masing. Kenapa kagak masuk, Pak?
Kloter II Pembacaan Puisi
Sabtu selanjutnya, semangat saya bisa dibilang
hampir kandas. Saya tak pernah menyentuh kembali naskah puisi saya sejak minggu
sebelumnya. Sudah patah arang duluan. Jadilah saya tak pernah latihan sekaligus
tak begitu berharap Pak SQ masuk. Pun juga karena saya gupuh menyiapkan makalah untuk
mata kuliah seminar yang jatuh pada Rabu depan. Akhirnya saya mengerjakan
makalah saya sembari menunggu waktu datang tidaknya Pak Dosen.
Bapak Dosen akhirnya datang dan mengharuskan
saya melihat kembali naskah puisi yang untungnya masih ada di dalam tas. Saya
hanya membacanya sekilas, itu pun dalam hati. Lebih banyak menenangkan diri
karena aura mistis maju ke depan agaknya cukup
mendominasi. Hahaha… Saya lebih banyak melakukan ritual penting sebagai bentuk
apresiasi kepada teman-teman yang sudah maju (baca: tepuk tangan).
Belum siap untuk posisi pertama, kedua, ketiga,
keempat dst saya masih duduk di kursi saya. Agak lama saya duduk di bangku dan
akhirnya mencoba mengacungkan tangan. Eh, beberapa kali mengangkat tangan agar
ditunjuk akhirnya pada usaha saya yang keempat atau kelima atau keenam akhirnya
saya diberi kesempatan oleh K. Arya yang ketika itu ditunjuk sebagai moderator.
Beberapa kali, melihat teman-teman yang maju dan
menampilkan pembacaan yang luar biasa keren, saya jadi kagok, malu, dan takut.
Takut, kalau-kalau saya tidak bisa menyeimbangi penampilan mereka yang memang
udah kece. Asli, masih di tempat duduk pun, aura mistis maju ke
depan yang khas itu semakin menjalar hingga ketika
saya melangkahkan kaki ke depan kelas.
Saya membawakan puisi SAGA yang saya tulis
sendiri. SAGA sebenarnya saya ikutkan dalam kompetisi penulisan puisi yang
diadakan oleh panitia Harlah PCINU Maroko. Hanya saja, ada beberapa kata yang
saya rasa perlu perbaikan sehingga puisi yang saya baca di kelas merupakan
hasil perbaikan dari teks aslinya. Hehehe… yang penting masih saya yang nulis,
kok! Masih ori kalau bahasa masyarakat JBO.
Meski tidak mendapat juara tetapi saya sudah
bersyukur karena SAGA bisa bersarang di urutan ke-12 dari 100 puisi yang
dibukukan. Tumben-tumben ya! Haha. Jangan kelewat seneng, Jik! Baik, baik…
SAGA
Oleh: Wazi Fatinnisa
Dari lubang-lubang kecil di dinding
kulihat saga begitu pekat di langit senja
Hidup kita ada di antara serak-serak reruntuhan
Di antara debu yang tak jua henti menjejal
langkah
Pada maghrib kita
selalu saja terdendang riuh kembang api
Tapi herannya, tak satu pun bahagia
Meruas di setiap bibir anak kecil
Dari lubang-lubang kecil di dinding, bu
Kulihat darah berciprat di jalan tiada ujung
Perih lebih dulu sampai menggigil tubuh
Akan kemana kita, bu?
Sedang di luar
Saga semakin pekat,
Malam kian merapat
Dingin sudah dekat
Akan kemana kita, bu?
Sedang peluru
tengah bersiap
di muka pintu
ABOUT THE AUTHOR
Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...