http://ayo-sekolah.org/ |
Sejak beberapa hari lalu,
saya mulai mengubrek-ubrek isi lemari Sekretariat Pena
Kampus. Lemari itu berada paling bawah dengan kusen pintunya yang telah
rusak. Di sana tertumpuk kumpulan arsip koran lama yang belum dikliping.
Biasanya koran yang kami
kliping adalah koran kesayangan yang tiada lain dan tiada bukan adalah KOMPAS.
Di sekret, kami memang berlangganan dua koran, Suara NTB dan KOMPAS. Dari dua
koran itu, hanya Suara NTB yang hingga kini masih setia menjadi perawat wawasan
kami. Itu pun saya, terhitung yang jarang membacanya. Kalau KOMPAS, sudah lama
ia tak bersilaturrahim ke sekret tersebab urusan kocek yang tidak mumpuni untuk
tetap berlangganan. Mengenai hal ini, sebenarnya ada kisahnya tapi tak usahlah
saya ceritakan di sini.
Nah, koran-koran yang telah
dikliping itu nantinya akan kami tukarkan dengan pundi-pundi rupiah. Lumayan
sebagai pemasukan organisasi. Meski begitu, untuk menjualnya ke tukang loak, para
pengurus sekret memasang syarat tertentu jika akan menjual arsip koran lama
itu. Harus koran yang sudah lama banget, harus dikliping dulu, dan
lain-lain. Kebanyakan sayangnya sepertinya. Apalagi Mbak Ilda.
Memang sih pundi-pundi rupiah itu tak
seberapa jika dibandingkan dengan rentetan kata tak ternilai yag dibawa pergi
si tukang loak. Lalu mau apa
lagi? (kayak lagu?) Kami tak
punya cukup tempat untuk meletakannya di suatu tempat. Nah, sisanya yang belum
diklipinglah yang tersusun di dalam lemari dan saya ubrek-ubrek (kata "Ubrek" tidak ada
di kbbi offline 5.1 saya -_-).
Kegiatan mengubrek-ubrek lemari berisi KOMPAS lama itu
sebenarnya diawali dari rumah. Ketika itu, saya menemukan lembaran koran KOMPAS
yang berisi empat halaman. Kebetulan lembaran-lembaran itu merupakan bagian
dari konten Kompas Klasika. Artikel di dalamnya sebenarnya biasa saja, mengenai
perjalanan reporter Kompas ke sebuah tempat di daerah Bandung yang ada Rumah
Hobbitnya itu, lho! Saya
lupa namanya, akan tetapi kemasannya memang luar biasa. Foto adalah hal pertama
yang menarik tangan saya untuk membaca artikel itu.
Pernah juga helaian Kompas
Klasika lainnya saya temukan di tempat yang sama (baca: rumah). Entah kenapa hanya
fragmen-fragmennya saja yang saya jumpai. Pada
artikel itu dibahas mengenai pendidikan di Finlandia yang memang sangat berbeda
dengan di Indonesia. Hal pertama yang membuat saya tergerak untuk membaca
artikel itu adalah gambarnya. Memang benarlah bahwa dua hal yang membuat
manusia terpana, kata-kata dan
gambar. Paulo Coelho mengatakannya dalam novel spektakulernya, The Alchemist. Hal lain yang
memang menyuguhkan daya tarik adalah kata-katanya. Kalimat pembuka tulisan itu
membuat saya jatuh cinta. Eh, itu koran ada dimana, ya? Ntar saya cari lagi
dah! Sayang dibuang! Hahahah…
Rabu lalu (10/5) pun saya
kembali melakukan aktivitas mengubrek-ubrek lemari Sekret itu. Saya beberapa
kali membolak-balik lembaran-lembaran koran itu. Setelah menemukan yang menarik
hati lalu membawanya pulang untuk dibaca.
Entah kenapa, untuk
saat-saat ini saya sepertiny tengah ingin nostalgia. Eh, gitu ya bahasanya? Ya! Nostalgia dengan hari-hari
bersama KOMPAS. Cie…. Kayak ente rajin baca koran aje, Jik! Hehehhe.. manusia seringkali
tak bersyukur dengan apa yang dimilikinya. Ya!!
Ia akan merasa kehilangan
ketika sesuatu miliknya telah pergi tetapi malah melupakannya ketika ada di
depan mata.
Yah, saya merasakan kalimat
bijak itu benar-benar jleb dengan keadaan kami, khususnya
saya yang ada di sekret. Ketika dulu kami masih berlangganan KOMPAS, saya
terhitung jarang membacanya. Paling-paling lihat judul dan cari-cari hal yang
menarik hati atau sekadar isi TTS. Masya'allah… kurang bersyukur kayaknya ini.
Sekarang benar-benar terasa
apa yang dikatakan Mbak Ilda, KOMPAS itu sudah seperti rohnya Pena. Semacam
lubang rahasia penyedia inspirasi. Apalagi kalau ada rapat untuk membahas
kegiatan yang membutuhkan tema. Biasanya kami menyentuh KOMPAS sebagai amunisi
untuk tema kegiatan. Hahahaha…
Coba buktikan sendiri! Akan
ada sesuatu yang berbeda yang tidak akan ditemukan di surat kabar lain ketika
kita membuka helai-helai surat kabar pedoman arah mata angin itu. Ada hal lain
yang ditawarkan KOMPAS. Mungkin itu kenapa nama surat kabarnya, KOMPAS!
Penunjuk arah, gitu! Hehehe...
Dengar-dengar, Bu Pimum
alias Kak Hikmah akan mengembalikan tali silaturrahim Pena Kampus dengan koran
KOMPAS? Bagaimana? Lumayan pengobat rindu di suasana organisasi yang agak lesu.
Hehehehe….
Ditunggu ya!
Semoga aktivitas ngubrek-ngubrek saya tidak hanya sekadar euforia semata atas kerinduan dan kehilangan 1
tahun lebih.
Jangan sampai setelah
kembali ada, surat kabar pedoman arah mata angin itu bisa lebih sering kau baca
dan lebih gencar kau terima ilmunya, Jik! Semangat!
"Belajarlah, karena
manusia tidak terlahir dalam keadaan pintar!"