Mengkuru, Sebuah Rindu (2)


Ada saat ketika kita merasa rindu, entah pada hal apa. Seperti pada suatu Ahad sore di dusun Rejeng Nyungkar, desa Mengkuru, Kecamatan Sakra Barat, tempat saya dan teman-teman singgah untuk hidup selama 45 hari. Sepoi angin meniup batang-batang bambu di samping rumah kami. Rumah yang kami tinggali selama masa kuliah empat SKS ini-KKN. Sinar Surya sore itu masuk di antara celah dedaunan bambu yang rontok. Di bawahnya akan selalu tersisa sampah dedaunannya yang ramai berserak.

Suasana itu, entah mengapa membuat saya merasa begitu rindu. Terasa ada ketenangan di sana. Menikmati tiap-tiap jengkal mahakarya Tuhan. Sungguh, ini yang disebut  quality time. Detik-detik yang kita lewati seperti itu, hanya ada sedikit di antara sore-sore yang ada. Saya sering curiga, keadaan yang kita temui semacam itu, sebenarnya merupaan bentuk rindu kepada Sang Pencipta yang tidak kita sadari. Akan tetapi, memang dasar manusia, tak pernah mengenal dirinya, apalagi Tuhannya. Ia anggap saja itu sebagai bentuk nikmat ketenangan semata, wujud pelarian kebosanan semata, padahal rindu itu butuh digenapkan dengan cara pemenuhan "rindu" itu sendiri. Semacam ketika kita sedang kangen masakan ibu lalu memutuskan pulang ke rumah sebagai penawarnya. Sejatinya pemenuhan rindu kepada Sang Pencipta pun adalah sebuah naluri alam bawah sadar yang mesti kita utamakan.

Saya sempat merasakan salah satu anugerah terindah itu pada minggu pertama KKN (kalau tak salah). Hari itu siang menjelang sore, dan cuaca terasa cukup panas. Desau angin dari batang-batang bambu yang saling bergerak menjadi salah satu musabab anugerah itu menjadi lengkap. Tak ketinggalan, sore itu, suasana posko KKN cukup sepi karena teman-teman banyak yang tertidur pulas. Hari itu adalah hari yang cukup terik untuk melakukan aktivitas meski angin memasok kesegaran yang cukup untuk tak membuatmu mandi keringat.



Ketika itu saya tengah bercengkerama bersama seorang teman di teras. Duduk mengobrol kesana kemari, menggibahi angin yang terus melakukan pekerjaannya tanpa rasa bosan. Menikmati kipas angin alami yang mengalahkan ac. Kemudian menyebut waktu tersebut sebagai "quality time". Ternyata, ia juga merasakan nikmat Allah itu. Alhamdulillah. Saya kira hanya saya yang menamai suasana seperti itu sebagai sebuah waktu yang, mmmm... Saya tak bisa menjelaskannya. Have you ever felt it??

Saya sepertinya harus memperjelas kembali remah-remah pikiran yang seringkali absurd ini. Ada satu waktu, biasanya di waktu pagi atau sore hari. Ketika kau melihat ke luar rumah, dedaunan, angin, air, langit terasa entah berbuat apa hingga membuatmu seperti dengan kerelaan hati untuk tersenyum dan melakukan kesyukuran yang tiada tara. Mengapa? Karena suasana tenang, syahdu yang tak pernah kau rasakan di waktu lain. Saya agak bingung sebenranya karena waktu ssemacam itu muncul begitu saja, namun biasanya alam dan kondisi dan suasana tempatmu berada adalah hal wajib yang membuatnya mendukung perasaan yang memunculkan kesyukuran itu. Kondisinya sungguh tenang dan syahdu.

Kita kadang menemukannya ketika waktu-waktu menuju ashar hingga ashar lewat beberapa menitlah... Jika itu pagi, biasanya kita merasakannya pada pukul 9-10, ketika dedaunan pohon berwarna hijau kekuningan ditimpa mandi matahari yang belum terik. Apa kalian memahami apa yang saya bicarakan?? Semoga iya. Karena bagi saya, menikmati waktu-waktu seperti itu adalah nikmat tiada tara yang diberikan Allah untuk kita, hamba-Nya.

Sungguh, melakukan bentuk kesyukuran di saat seperti itu betul-betul nikmat. Mengapa? Karena semesta tengah melakukan hal yang sama dengan yang kita lakukan. Semesta, termasukk kita, bersinergi mengkonstruksi suasana, keadaan, dan tempat terbaik untuk membuat kesyukuran itu terasa begitu nikmat. Bentuknya, ya saya kira semacam tafakkur alamlah... Hehe..

Agaknya setiap hari, kita perlu membangun quality time semacam itu agar kita memahami bahwa bersyukur kepada Allah itu begitu banyak bentuknya. Untuk hal yang seringkali kita anggap sederhana sekalipun, seperti menghirup oksigen tanpa tersendat maupun merasakan hembus angin yang menenangkan adalah bentuk kesyukuran. Tetaplah bersyukur untuk hal-hal yang terlihat kecil dan remeh. Kita tidak tahu, kebaikan yang mana yang akan membawa kita menuju surga-Nya (Aamiin). Bukankah Dia yang berhak mencabut dan meletakkan ketenangan ke dalam setiap hati kita?

Kita seringkali kufur pada nikmat-nikmat yang kita anggap kecil namun sesungguhnya akan kita syukuri ketika tiada. Akan kemana kita mencari oksigen ketika penyakit melanda dan kita menjadi manusia tak normal yang membeli nafas bertabung-tabung?

Sebersyukur apa sih kita, yang ketika diberi nikmat hidup di dunia sedikit saja, sudah melambung jauh hingga mencapai langit. Apalagi sebentuk napas yang setiap hari tak kita lewatkan?
Aida, manusia... Fabiayyiaalaai robbikuma tukadzibaan?



Tertulis pada minggu pertama di posko. #KKNTematik2018, #KKNUnram, #KKNMengkuru


Share this:

ABOUT THE AUTHOR

Pengagum sosok Ayah, Ibu dan Ilalang. Masih belajar untuk menjadi setangguh ilalang. Manusia yang berharap Tuhan memeluk mimpi-mimpinya.

1 komentar:

  1. Set daaaahhh...
    Lu pade gibahin angin?????
    Untung aje tu angin kagak nyebeng di gibahin lu pade. Kalo sampe nyebeng, siap siap setiap angin lewat dia bakal bawa parfum alami manusia entah milik siapa kedepan muke lu.. Mau lu?!!

    BalasHapus

Silakan tinggalkan jejak dengan memberikan komentar...