Pasca Ujian |
Debat
perdana capres dan cawapres 2019 mengenai Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme
diadakan pada Kamis malam lalu (17/01). Hari itu hari yang melelahkan bagi saya
karena kembali ke rumah di sore hari ketika kantuk siang telah lewat dan saya
belum menyelesaikan ppt untuk ujian skripsi besok (19/01). Cukup mengesalkan
sebenarnya mengapa jadwal debat perdana ini dilaksanakan pada Kamis malam
ketika keesokan harinya saya harus bertempur bersama skripsi dengan empat sks
yang terasa melebihi bebannya itu. Mau kecewa tapi rasanya sudah lelah. Ya
sudah!
Saya
tak bisa menghindari kilatan mata dan dengungan telinga yang menyeret-nyeret
langkah ke depan tivi. Terang saja, ruangan tivi berada dekat dengan tempat
saya bersemedi membangun persiapan tempur. Suara tengik pendukung grasa-grusu
itu mau tidak mau seperti setan bermata merah yang pelan tapi pasti menggoda
saya untuk tergiur dengan peristiwa yang sudah barang tentu jadi TTI di pertwitteran. Karena membahas tema
Terorisme, saya merasa tak perlu belajar dan hanya perlu duduk saja di depan tivi untuk
menonton debat karena pertanyaan yang akan muncul di sidang skripsi besok tak
akan jauh-jauh dari pembahasan debat ini, khayal saya! Helleh...
Sebenarnya, saya malas mengikuti acara debat tersebut namun telinga saya menjadi yang pertama membangkang keinginan itu disusul mata dan akhirnya kaki yang mengharuskan seluruh anggota badan melesat ke depan tivi. Mondar-mandir tivi dan laptop, saya pun akhirnya tak menyelesaikan debat yang penuh kekecewaan itu juga tak menyelesaikan slide-slide ppt untuk sidang. Saya tertidur usai Kyai Ma’ruf membahas terorisme dan terbangun pada dini hari sekitar pukul satu seperempat lalu menyadari bahwa saya belum menuntaskan slide-slide ppt untuk sidang skripsi.
Sebenarnya, saya malas mengikuti acara debat tersebut namun telinga saya menjadi yang pertama membangkang keinginan itu disusul mata dan akhirnya kaki yang mengharuskan seluruh anggota badan melesat ke depan tivi. Mondar-mandir tivi dan laptop, saya pun akhirnya tak menyelesaikan debat yang penuh kekecewaan itu juga tak menyelesaikan slide-slide ppt untuk sidang. Saya tertidur usai Kyai Ma’ruf membahas terorisme dan terbangun pada dini hari sekitar pukul satu seperempat lalu menyadari bahwa saya belum menuntaskan slide-slide ppt untuk sidang skripsi.
Jumat
(18/01), saya menghadapi satu tahap krusial dalam perjalanan pendidikan strata
satu. Yoai, sidang skripsi! Itu adalah hari pendek usai penundaan jadwal sidang yang mengambil waktu yang cukup panjang, satu minggu ke belakang.
Parahnya, batas jadwal sidang skripsi terakhir adalah hari Sabtu (19/01) lalu.
Mau bagaimana lagi, saya sudah bolak-balik menanyakan jadwal ke tiga dosen ketjeh. Walhasil, semuanya sepakat
mengiyakan untuk menguji di hari barokah itu. Walhasil pula, Pak Burhan tidak
saya dapati di hari penting itu, pun pada hari-hari setelahnya hingga hari ini,
Senin (21/01). Beliau tak membalas chat maupun sms saya. Huhu.. Jarang sekali
beliau tak membalas chat mahasiswa yang tak pernah bosan sekadar bertanya bapak
ke kampus kah? Atau seperti saya yang mengingatkan jadwal sidang skripsi.
Berbeda
dengan saat ujian proposal skripsi kemarin, kali ini saya tak menunggu lama
kehadiran para dosen ketjeh. Pak Imam
menjadi yang pertama hadir, beliau memang selalu on time meski dengan kondisi kesehatan yang seringkali membuat
mahasiswa merasa kalah semangat dengan beliau. Maasyaallah… barakallahu fii umrik.
Saya menunggu di luar dan meninggalkan Pak Imam duduk sendiri di dalam sembari menunggu dosen lainnya datang. Tak sampai lima menit saya kira, Pak Sir
berjalan masuk ke ruangan hampa udara itu sampil mengapit bundelan skripsi saya
yang tidak setebal make-up kamu, iya
kamu!
Sejurus
kemudian, Pak Sir sudah akan masuk ke ruang 4 (ruang tempat saya sidang
skripsi) sambil melihat ke arah saya. Saya katakan bahwa Pak Burhan
belum datang. Beliau pun membawa kabar mengenai Pak Burhan yang tidak dapat
hadir karena harus pulang ke Sumbawa lalu memberi kode untuk
meminta saya segera masuk ruangan dan memulai sidang. Baiklah, dua anak cukup.
Eh, dua dosen cukup maksudnya! Heleeh…
Saya
pun akhirnya kembali berada di ruangan yang sama ketika ujian proposal beberapa
waktu lalu. Sengaja saya pilih karena satu-satunya yang memiliki jendela dan
terasa cukup lapang dibanding kan ruangan lain. Beruntungnya, tak ada jadwal ujian
di pagi itu. Jadi, suasana beranda ruang ujian cukup tenang. Saya memerhatikan
wajah orang-orang di luar ruang 4 yang perlahan menghilang seiring dengan
gerakan tangan saya yang menutup pintu ruangan. Pukul sembilan lewat beberapa
menit.
Saya
duduk dengan komat-kamit bermacam-macam rupa yang bermakna satu, meminta Allah
SWT memberikan ketenangan kepada saya untuk mengatasi problematika yang sedang
dan akan saya hadapi kala itu. Pak Imam yang berada di seberang meja-tepat di
hadapan saya, akhirnya menyilakan saya memaparkan hasil penelitian skripsi saya
setelah sebelumnya sempat memberikan prolog yang mengaitkan skripsi saya dengan
debat tadi malam. Huhu.. Saya tak selesai menonton, Pak!
Sekitar
sepuluh sampai lima belas menit sepertinya saya cuap-cuap di hadapan dua dosen tertjinta. Sampai hari ini, saya belum bisa
move on dari penelitian skripsi saya
yang membahas mengenai isu terorisme. Kebetulan tema debat capres dan cawapres
pertama kemarin membahas mengenai terorisme, saya kira elektabilitas skripsi
saya ketika diujikan H+beberapa jam usai debat itu cukup
tinggi karena tidak termakan usia alias relevan dengan perkembangan saat ini. Terlalu yakin, Anda, buk! 😅
Singkat
cerita, akhirnya saya keluar ruangan dan menemukan beberapa wajah mujahidah yang saya
kenal disana. Sekitar dua sampai tiga menit para dosen berdiskusi di dalam, saya duduk
dengan perasaan khawatir bukan karena tegang yang terbawa dari dalam, namun
karena usai sidang itu, saya harus jor-joran mengejar kelengkapan berkas-berkas
yudisium yang sudah mepet. Belum lagi nilai ujian yang hingga Kamis (25/01) ini yangvternyata belum keluar karena alasan yang complicated.
Heuh… saya harus memikirkan pula jadwal ujian di Pak Burhan yang belum
dilaksanakan, dan segelumit keruwetan lainnya demi mendaftar yudisium. Situasi
ini sebenarnya cukup menyebalkan bagi saya. Bukan
apa-apa, beberapa kebijakan terkadang terasa terlalu menguras ongkos untuk ukuran seorang mahasiswa (padahal sejatinya bisa dihemat) hehe... Tanya saja keruwetannya
pada mujahid/mujahidah yang lalu-lalang dan tampak (lebih sering) berjalan
cepat di barisan mujahidah peralihan pascaskripsi.
Sekarang,
disinilah saya akhirnya berada. Fase di saat mujahidah skripsi naik satu kelas ke tahap mujahidah peralihan pascaskripsi. Heleh… Ini dia, fase yang
dinamakan fase krebi petty-keribetan
bersama lembaran, ttd, dan stempel yang tiada henti, fase urus-mengurus yang
mesti diurus.
Sudahlah,
mari berdoa saja semoga Allah yang maha pemberi kemudahan, memudahkan urusan
saya dan Anda sekalian, pembaca...