|
https://pexels.com |
Saya akhirnya tiba, pada masa-masa krusial seorang mahasiswa. Ketika
bersua dan bercakap santai bersama teman di kampus menjadi hal yang sangat jarang
bahkan mungkin sudah tidak bisa terulang lagi, Ketika melangkahkah kaki seorang
diri di sudut-sudut kampus sebagaimana biasa malah terasa begitu canggung. Bahkan satu per satu teman mulai menghilang dari peradaban, entah kemana.
Saya mungkin terkena culture
shock atas apa yang saya hadapi pada tingkat ini. Akan tetapi, rasa-rasanya
tidak. Sejak berada pada semester genap ini, entah mengapa saya seringkali menghindari
pergi ke kampus jika tidak ada urusan yang benar-benar perlu, seperti kegiatan
di organisasi atau mengurusi ‘hal yang satu ini’ (skripsweet).
Perasaan-perasaan itu menguatkan dugaan bahwa saya terkena sindrom lazieae (saya menamakannya begitu). Sindrom ini adalah gejala akut yang diderita
mahasiswa tingkat akhir sehingga merasa nyaman pada posisi atau aktivitas yang
tidak menguras energinya seperti makan, minum, menonton televisi, berdiam diri,
dan aktivitas keseharian yang sudah biasa dilakukan.
|
Taken by me
(View Belakang Auditorium seusai dari UPT Perpustakaan Menuju Kampus) |
Pada awal-awal semester lalu, saya rasanya ingin sekali menikmati
masa-masa akhir kehidupan kampus dengan tidak memedulikan selebaran oral berupa
intervensi sosial dadakan dari masyarakat kampus. Setiap hari bahkan setiap
waktu mahasiswa yang menyemat identitas sebagai ‘mahasiswa akhir’ berada pada deretan
stasiun tersibuk itu (depan ruang dosen).
Pada minggu awal kepulangan KKN, saya masih bisa menyapa
banyak teman yang sibuk mengurusi kelengkapan laporan KKN seperti yang saya lakukan, tapi beberapa sudah
terprediksi sibuk mengurusi ‘hal yang satu itu’. Berselang pada minggu-minggu
selanjutnya, saya akhirnya memilih pergi, menjauh dari keriuhan yang terasa
menyibukkan itu. Jujur saja, bukan hanya bosan mendengar selebaran-selebaran
oral yang tiada henti dari jiwa peralihan mahasiswa KKN ke mahasiswa skripsiyyun, tetapi keputusan untuk
menjauh itu lebih kepada bentuk memurnikan hati agar niat skripsi tidak
terkontaminasi oleh alasan akselerasi masa kuliah.
Sungguh, saya bukan tak bahagia dengan teman-teman yang telah melangkah jauh dibandingkan dengan saya.
Saya hanya ingin melintasi alam perkuliahan ini lewat jalur lambat bypass yang berada di sisi kiri. Jalur yang
memang diperuntukkan bagi mereka yang ingin menikmati perjalanan untuk sampai
ke tujuan dengan tidak terburu waktu. Sesederhana itu alasannya.
|
http://mpggw.com |
Sebenarnya tidak jadi soal memilih jalur cepat atau jalur lambat. Esensi
berkendara bukan di tahap cepat atau lambat. Jika seseorang memegang prinsip Moto GP, maka ia mutlak akan melintasi
lintasan secepat mungkin. Mengapa? Karena dalam pertandingan Moto GP, mereka yang tercepat
menyelesaikan lintasanlah yang memenangkan pertandingan, dan sisanya adalah Runner up.
Lalu, apakah mereka yang beralibi ingin menikmati suasana kampus di
tahun-tahun terakhir adalah seorang Runner
up? Jelas iya jika kita meminta pendapat Marquez atau Pedrosa. Akan lain jawabannya
jika kita memandang proses meraih remah-remah ilmu dalam bangku kuliah sebagai
sebuah perjalanan yang harus dinikmati. Lantas, apakah mereka yang memilih
jalur cepat tidak menikmati perjalanannya? Kita tidak bisa mengatakan hal itu sepenuhnya
benar. Sebab tidak semua orang yang memilih jalur cepat tidak menikmati
perjalanan mereka, bukan?
Setiap orang adalah pemenang untuk pertandingan yang mereka buat
sendiri. Jika kita memetaforakan dimensi perkuliahan sebagai lintasan balapan
maka kita telah meniatkan diri untuk menjadi seorang pembalap. Bukankah
orientasi seorang pembalap adalah menjadi pemenang? Untuk menjadi pemenang
balapan bukan perkara mudah, ketangguhan untuk melewati setiap pembalap lain
(meski mungkin mereka tak merasa ikut balapan, sebenarnya) dan mencapai finish dengan cepat.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah Benarkah dunia kampus menyediakan lintasan balapan itu? Saya belum
pernah menemukannya secara kasatmata, namun secara mental seringkali iya. Akan
selalu saja ada beberapa dosen atau mahasiswa yang menyetel mode ‘balapan’
dalam dunia kampus yang getir ini. Sebaliknya, akan selalu ada mahasiswa atau
pun dosen yang sungguh-sungguh tak mengenal mode ‘balapan’. Hidup ini selalu
indah, kawan. Ada penikmat minuman manis macam teh tapi ada pula yang lebih
memilih menyeruput minuman pahit semacam kopi. Sesederhana itu.
Lantas, jika ada pertanyaan apakah
memilih jalur cepat dalam menyelesaikan prosesi akademik seorang mahasiswa
adalah sebuah pilihan yang tepat? Maka jawabannya hanya bisa dijawab oleh
diri sendiri. Cepat atau lambat itu nisbi. Sebagaimana kita bertanya, apakah lebih baik saya segera menghabiskan
minuman ini atau menikmati setiap tegukannya dengan perlahan? Jawabannya
sungguh nisbi. Tergantung pada situasi dan kondisi seperti apa yang
mengharuskan kita untuk menyegerakan atau menikmatinya dengan perlahan.
Akan selalu ada dua jawaban, ya atau tidak. Dua jawaban yang kemudian
tidak lantas diasumsikan sebagai jawaban benar dan salah. Tidak ada jawaban
yang salah dalam pertanyaan essay,
yang ada hanya jawaban yang keliru dan kurang tepat. Itu pun sangat bergantung
kepada siapa yang menilainya.
Pada akhirnya, tak ada pernyataan ‘cepat lulus’ atau ‘lambat
lulus’, semua itu adalah kenisbian semata. Sungguh, saya pun tak berniat
untuk memilih jalur cepat atau lambat, sebab cepat dan lambat itu perihal
hasil. Saya ingin menikmati setiap derap kaki di sisa-sisa pra-sarjana saya.
Itu bisa jadi alibi mujahid skripsi yang terkena syndrome lazieae. Jangan terlalu terperdaya dengan macam rupa intervensi,
apalagi intervensi berupa tulisan ecek macam begini. Haha…
Buat kamu yang masih berkutat di antara jalur cepat atau lambat, ada
pilihan yang lebih berfaedah,
Kerjakan saja skripsimu!
Biar ramai! Biar mengaduh sampai gaduh!
Selamat menempuh masa krusial, kawan! Let it flow!!
#Teguhlah! Jadi Mahasiswa Akhir itu Berat, Biar(in) Saja!
Mengendap terlalu lama dan baru bisa tertuang saat ini. ^_^