Kau tahu, Lang?
Kuliah analisis wacana itu mengagumkan sekaligus menyeramkan. Ia dapat
berubah sewaktu-waktu menjadi sebuah bedil dan meluncurkan timah panasnya ke
arah bidikan yang tak terduga bahkan. Saya baru menyalami punggung
tangannya beberapa waktu lalu, belum lewat satu bulan. Kau tahu yang membuatnya
menarik? Sudah jelas KATA dan tentu yang tak bisa dipungkiri adalah pemberi
KATA itu (baca: dosen). Dosen yang sekaligus pembimbing UKMF Pena Kampus itu,
bagi saya punya daya magis tersendiri ketika mengeluarkan kata. Setiap frasa,
kata, klausa maupun kalimat yang dikeluarkan beliau tak lepas dari ideologi,
sejarah, filsafat dan hal-hal menarik lainnya. Bahkan Ia memulai hari ke-2
kuliah dengan menyusuri jejak filsafat mata kuliah ini.
"Setiap
ilmu pengetahuan itu berawal dari filsafat." Begitu ucap beliau dan saya
seperti pernah mendengar kalimat itu dimanaaa gitu. Huhu.. Kurang
kece apalagi mata kuliah ini. Semoga kita berjodoh ya, Analisis Wacana!
Baiklah...
Kalimat yang saya ingat betul diucapkan Pak Dosen adalah, "Tak ada manusia
yang benar-benar bebas." Apa maksud kau, Ji’?
Baiklah. Coba
lipatkan jari-jari tanganmu satu dengan yang lain. Lalu lihatlah ibu jari yang
bertengger paling atas milik siapa? Kiri atau kanan? (kau jawab sendiri!)
Setelah itu, lakukan hal yang sama kembali namun dengan posisi sebaliknya. Jika
tadi yang bertengger di puncak jemari adalah ibu jari sebelah kanan maka
sekarang ubahlah posisi puncak jemari menjadi ibu jari kiri beserta telunjuk
dkk. (Contoh Analogi dari pak
Dosen)
Sudah? Bagaimana
rasanya? Ada yang aneh?
Yap! Seperti
itulah manusia. Tak ada yang benar-benar bebas di dunia. Ia masuk dari satu
wacana ke wacana yang lain. Berpindah dari satu ruang ke ruang lain dan
tenggelam dalam wacana yang berbeda dari sebelumnya. Jika kau belum cukup
memahami apa yang saya maksud, Lang kau bisa memahami satu analogi
yang juga diberikan Pak Sirulhaq, dosen Analisis Wacana, di bawah ini...
Wacana itu like building a house. Kita umpamakan
sebuah rumah adalah sebuah wacana. Ia tersusun oleh berbagai komponen
pembentuk. Untuk membangun rumah, beberapa komponen yang kita ketahui ada batu,
bata, tanah, semen dan komponen lainnya. Kita umpamakan pasir, batu, bata,
semen dan komponen pembentuk rumah itu adalah sebuah bahasa. Maka,
bahasa-bahasa itu akan membentuk sebuah wacana pada akhirnya.
Komponen
pembentuk (konteks) wacana itu ada yang tersembunyi maupun tidak. Kembali
kepada analogi rumah, ketika rumah selesai dibangun, komponen pembentuknya
(konteks) ada yang tetap terlihat seperti tembok yang telah bercat, genteng,
lantai berkeramik dll. Namun ada pula komponen pembentuk rumah yang tak tampak
seperti pasir, batu, bata dll. Itulah yang dimaksud dengan konteks yang
terlihat dan yang kasat mata.
Saya berusaha
menjelaskan analogi ini kepada kakak saya, Ia mahasiswa teknik semeser tinggi
yang sedang pilu dengan tugas akhirnya. Haha.. Namun penjelasan saya tak pernah
disetujui oleh pikirannya. Ia mengatakan bahwa komponen pembentuk rumah itu
tidak sesederhana apa yang saya jelaskan kepadanya. Saya jadi tak tahu akan
menjelaskan pengetahuan saya yang masih cetek dan lagi panas-panasnya ini
kepada siapa. Bapak? kagak
bakalan selesai. Ibu? Sibuk.
Ubay? Oh bener, Ubay adalah sosok yang tepat untuk dijadikan pendengar. Ia
adalah satu-satunya pendengar terbaik di rumah untuk saat ini. Bolehlah untuk
menjelaskan pengetahuan saya yang masih cetek dan anget-anget ini. Oh, No...
Saya lupa, jelas ibunya menyuruh saya menjelaskan pengetahuan ini kepada Ubay
tanpa suara. Hahaha... Ia belum genap 1 bulan.
Penjelasan saya
belum selesai. Saya sudah harus pulang dan melanjutkan hari di rumah.
Bye kampus!
25 September
2016| @UPT Perpus.