"Rengkuhlah,
zenit kian berderak dibuatmu
Semesta tak lupa pada ketekunan
Jiwa-jiwa
peneguk ilmu, jiwa-jiwa penegak ilmu
Teguhkan
ia dengan teh berkilat madu di balik senja
Benamkan
segala dalam pelita doa."
Aamiin...
Keberangkatannya
menuju London itu pun tiba. Kami sebenarnya begitu ingin
mengantarkan kepergian salah satu wanita terbaik dari keluarga kami itu. Siang
harinya, Kak Hendra mengatakan tak bisa mengantar kami, ehh... lebih tepatnya Ibu yang
sangat ingin mengucap selamat jalan secara tatap muka. Jadilah akhirnya hanya Kak Hendra seorang yang melenggang ke bandara dan mengantarkan pundi-pundi poundsterling yang sebelumnya berupa rupiah itu. Sangu
itu disiapkan Bapak Inda untuk kebutuhan tak terduga sepertinya. Agak kecewa
sebenarnya tak dapat bersua sebelum akhirnya Te—panggilan akrab kami yang
bersumber dari Eril, menjejaki kaki di tanah Inggris sana. Namun apalah daya, Lang.
Perginya
Kak Hendra sekaligus mengakhiri niat Ibu berjumpa Kak Inda untuk terakhir
kalinya setahun ke depan. Tak patah arang, Ibu menelepon Pak Acip, tetangga
yang menyediakan mobilnya untuk jasa antar-jemput tapi tak berhasil. Ia tak
berada di rumah. Usaha itu benar-benar menutup niat ibu untuk menemui Te.
"Kemarin
itu, terakhir kita ketemu Kak Inda, ya?..." Pertanyaan Ibu itu hanya kami jawab dengan gumaman saja. Ada bening di pelupuk
matanya.
Di
rumah, kami, yang saat itu sebenarnya ingin mengantarnya tak kuasa menahan
bayang-bayang kepergiannya di bandara sana. Imajinasi adegan per adegan semakin nyata ketika kudengar Ibu berbincang di sisi telepon genggam
miliknya. Sendunya tak mampu berbuat banyak. Ia tetap di sini meski
terlalu ingin ia mengantar kepergian kemenakan tercintanya itu.
Kak
Inda memang telah lama tinggal di rumah kami. Sejak memasuki dunia kuliah di
Universitas Mataram (Unram), Ia telah menjadi bagian dari kehidupan keluarga
kami di rumah ini. Mungkin sebab itulah, kami menjadi sangat dekat meskipun
sebelumnya memang seperti itu pula keadaannya.
Keberangkatan
menuju London itu pun meninggalkan air mata, kegundahan, dan kawan-kawannya.
Bagaimana tidak? Kesan tiga tahun mendiami rumah kecil kami begitu sulit
dilepas Ibu. Ia wanita yang paling tak kuasa menampung bening hangat dari
matanya. Berat memang… Apalagi bagi Bapak Inda, Ibu Inda, Ekal, dan Eril. Pasti selalu ada kekhawatiran melepasnya sendiri di negara orang. Ah… Segalanya
tumpah.
Keberangkatan
menuju London itu pun menyisakan kepedihan di setiap kami yang merasa
kehilangan ini. Kehilangan yang membanggakan.
----
Perjalanan sejarah sebuah mimpi, mungkin begitu sulit dipercaya. Ia bak benih-benih emas jika disemai dengan baik. Is it her destiny? "Para fatalisme tentu menganggapnya begitu." seorang dosen mengatakannya pada perkuliahan di suatu pagi. Namun, perihal benih emas, setiap orang tentu memilikinya namun Te adalah satu diantara yang berhasil menyemai benih emas itu. Good Luck!