Saya lupa
pada siapa saya berhadapan. Saya lupa betapa semangatnya anak itu. Saya lupa
berapa kali saya memintanya mengulangi surah yang belum juga dihapalnya. Saya
lupa usahanya yang berulangkali mengulang-ulang hafalannya namun belum mampu menghafalnya
dengan urutan yang benar.
Di akhir
maghrib itu, Ia akhirnya menyerah setelah mengulangnya beberapa kali. Ia
meneyerah dan meminta saya menulis keterangan “ulang” saja pada kertas hafalan
miliknya. Dan ketika itu, ketika itu saya langsung tersadar bahwa saya sudah
kelewat batas. Wajahnya langsung berubah lesu. Semangatnya turun.
Ya, Allah… Saya
baru tersadar akan hal itu. Betapa kejamnya saya hingga
memintanya berulangkali menghafal namun Ia masih belum mampu menghafalnya.
Betapa bodohnya saya tak melihat perjuangan kerasnya mencoba untuk bisa
menghafal. Saya terlalu terobsesi. Maafkan saya ya Allah.
Maafkan saya
karena tak peka melihat semangat adik saya yang satu ini. Maafkan saya, dek.
Maafkan kakakmu yang bodoh dan tak peka ini. Karena saya semangatmu menjadi
turun. Kau bukan tak mampu, tapi saya yang terlalu perfeksionis. Kau sungguh mampu! Hanya mungkin butuh waktu. Maafkan
saya, dek. Apa yang Saya lakukan untukmu sebenarnya sungguh untuk kebaikanmu, namun
ambisi saya untuk membuatmu bisa menghafalnya “sedikit lagi saja” membuat saya lupa perihal kata “lanjut” pada
kertas hafalan itu. Dan tentu itu yang kau tunggu, bukan? Sungguh, maafkan saya. Tak apa kau belum mampu sekarang. Besok
kita menghafal lagi, ya! Saya berusaha untuk tak seperti itu lagi kedepannya! Insya
Allah.
Untung saja ia lelaki + periang!
Agaknya akan
cukup mengerikan jikalau adik yang satu itu bukanlah seorang lelaki + periang. Saya
cukup lega atas itu. Ternyata di masa anak-anak seperti itu dengan cepatnya
mereka melupakan kekecewaan yang beberapa menit berlalu. Saya sudah harap-harap
cemas saja berfikir kalau-kalau semangatnya menghafal sudah mulai luntur.
Ketika ia
akan pulang, saya menantinya menggenggam telapak tangan saya untuk disalami. Dan
ternyata ia masih penuh senyuman seperti biasanya. Saya lalu memeluknya
mengatakan kalau ia sudah lanjut ke hafalan surah selanjutnya. Dan ternyata
kekhawatiran panjang saya sebelumnya dijawab dengan enteng saja oleh si adik. “Memang
saya mesti lanjut, kak!” sambil cengengesan dengan gigi yang tak beratturan. Lah ini anak. Untuk gue gak lebih kejam dari itu. hahaha… Ya, sudahlah! Anak-anak
memang tak terduga!
#BelajarMenghargaiUsaha
#BelajarJadiGuru
#EveryChildIsSpecial